Perencanaan Pajak, Perlukah?
Kajian Praktis Menuju Administrasi
Perpajakan yang Efisien
Abdul Rahman
Abstrak
Pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang
paling potensial bagi kelangsungan pembangunan negara. Dari segi ekonomi, pajak
merupakan pemindahan sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik yang memengaruhi
daya beli atau daya belanja sektor swasta. Bagi dunia usaha, pajak merupakan
sumber pengeluaran tanpa memberi imbalan secara langsung. Kepentingan
pemerintah dan wajib pajak berbeda dalam pelaksanaan perpajakan. Pemerintah
berusaha untuk mendapatkan penerimaan pajak sebesar-besarnya dari wajib pajak,
sedangkan wajib pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin. Pajak
harus dikelola melalui suatu perencanaan yang baik, agar wajib pajak dapat
melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik dan memperoleh penghematan beban
pajak. Perencanaan pajak (tax planning) adalah bagian dari fungsi manajemen
pajak yang meliputi proses pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan
perpajakan, sehingga dapat diseleksi untuk menentukan jenis tindakan dan
penghematan pajak yang akan dilakukan. Perencanaan pajak merupakan upaya legal
untuk menempatkan pajak pada porsi yang seharusnya, sehingga beban wajib pajak
dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan kelemahan dari peraturan dan
undang-undang perpajakan yang berlaku.
Kata kunci: pajak, manajemen
dan perencanaan pajak, efisiensi.
Pendahuluan
Pada hakikatnya pembangunan nasional di suatu negara diselenggarakan secara
bahu-membahu oleh masyarakat dan pemerintah. Penerimaan dalam negeri menjadi
sangat penting untuk mensukseskan pembangunan nasional. Roda pemerintahan dan
pembangunan nasional tidak mungkin dapat digerakkan tanpa didukung oleh dana,
terutama yang berasal dari penerimaan dalam negeri. Negara juga membutuhkan
dana untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan,
keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupan. Dana yang akan dikeluarkan
ini salah satunya didapat dari rakyat melalui pajak.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dalam negeri yang paling
potensial. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran
rutin, maupun pembangunan. Peran utama pajak ada dua, yaitu sebagai alat
penerimaan negara (fungsi budgeter)
dan alat pengatur (fungsi regulatory).
Fungsi budgeter adalah membiayai pengeluaran negara, sedangkan fungsi regulatory adalah mengatur pertumbuhan ekonomi.
Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindah sumber daya dari sektor swasta
(perusahaan) ke sektor publik. Pemindahan tersebut akan memengaruhi daya beli (purchasing
power) atau kemampuan belanja (spending power). Pemenuhan kewajiban pajak
harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi gangguan serius terhadap kehidupan
perusahaan. Bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba
bersih. Setiap perusahaan/orang yang menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pasti
merupakan Wajib Pajak (WP).
WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Dalam pelaksanaan
kewajibannya, WP terlebih dahulu harus memahami ketentuan-ketentuan umum
perpajakan, salah satunya adalah self
assessment system, yaitu sistem pemungutan pajak yang meliputi beberapa proses:
menghitung dan menetapkan besar pajak terutang, menyetor pajak terutang ke kas
negara, melaporkan perhitungan dan penyetoran, dan mempertanggungjawabkan semua
kewajiban. Sistem ini merupakan bentuk kepercayaan pemerintah kepada masyarakat
untuk menjalankan kewajiban pajak. WP harus aktif menghitung dan melaporkan
jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus. Konsekuensi dari sistem ini adalah masyarakat harus
mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pelunasan pajak, seperti waktu pembayaran dan pelaporan, tujuan
pembayaran, penghitungan pajak, dan sanksi yang akan diterima oleh pelanggar
Undang-undang (UU) Pajak.
Dalam hal pelaksanaan perpajakan, kepentingan WP akan berbeda dengan
pemerintah. WP berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya, karena akan mengurangi
kemampuan ekonomisnya; sedangkan pemerintah memerlukan dana untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan—sebagian besar berasal dari pajak. Perbedaan
kepentingan ini menyebabkan WP cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran,
baik secara legal, maupun ilegal.
WP dapat menggunakan manajemen pajak untuk menerapkan peraturan secara
benar, mengefisienkan laba, dan meminimalkan beban pajak. Manajemen pajak
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan
pengawasan. Upaya untuk meminimalkan pajak sering disebut sebagai teknik
perencanaan pajak. Teknik ini merujuk pada proses rekayasa usaha dan transaksi,
agar utang pajak berada dalam jumlah minimal, tetapi masih dalam bingkai
peraturan.
Mengenal Perencanaan Pajak
Pajak adalah pungutan oleh negara yang mengakibatkan arus dana ke luar (cash
outflows) dan akan mengurangi hak pemilik perusahaan. Ditinjau dari entity
theory, pajak dianggap sebagai laba yang merupakan hak dari negara.
Sebaliknya, konsep proprietory menganggap semua kekayaan dan kewajiban
perusahaan adalah hak dan kewajiban pemilik, sehingga semua pengeluaran yang
mengurangi hak pemilik perusahaan dianggap sebagai beban, tidak terkecuali
pajak. Anggapan, bahwa pungutan pajak tidak berbeda dengan beban usaha yang
lain akan menimbulkan hasrat untuk mengurangi pajak. Suatu manajemen pajak—antara
lain melalui fungsi perencanaan pajak—diperlukan untuk mengurangi beban pajak,
karena peraturan perpajakan sedemikian kompleks dan dinamis (Basri Musri,
2004).
Menurut Susan M.
Lyons (1993: 303) perencanaan pajak adalah, “Arrangement of a person’d business and/or private
affairs in order to minimize tax liability.” Robert K. Eskew (1988: 762)
menyebutkan perencanaan pajak
adalah, “The practice of evaluating
the tax effects of contemplated actions or transactions.” Barry
Spitz (1983: 1) menyatakan, “Tax planning
is the process of taking into consideration all revelant tax factors, in
the light of the material non tax factors, for the purpose of determining:
whether; and if so—when;
how; and with whom, to enter into and conduct transactions,
operations, and relationships, with the object of keeping the tax
burden falling on taxable events and persons as low as possible while attaining
the desired business, personal and other objectives.” Pernyataan
lain, “Tax planning is the systematic analysis of deferring tax options
aimed at the minimization of tax liability in current and future tax periods.”
(Crumbley D. Larry, Friedman Jack P., & Anders Susan B.: 1994).
Perencanaan
pajak merupakan tindakan penstrukturan yang menekankan kepada pengendalian
setiap transaksi yang memiliki konsekuensi pajak. Tujuan tindakan ini adalah mengefisienkan
jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui penghindaran pajak/tax
avoidance, bukan penyelundupan pajak/tax evasion (Mohammad Zain,
2003). Pada tahap ini, pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan
dilakukan untuk menyeleksi jenis tindakan penghematan pajak. Penekanan pada perencanaan
pajak adalah meminimumkan kewajiban pajak (Erly Suandy, 2003). Moenaf H. Regar
(1995: 212) menyebutkan, bahwa perencanaan pajak adalah suatu usaha yang
dilakukan oleh WP untuk menghemat pajak dengan cara mengatur penghitungan
penghasilan yang lebih kecil yang dimungkinkan oleh perundang-undangan pajak.
Perlunya Perencanaan Pajak
Beberapa alasan yang mendasari pemberlakuan perencanaan pajak adalah:
1. Kerumitan Peraturan Per UU Perpajakan
Peraturan per UU Perpajakan yang semakin rumit
meningkatkan biaya untuk mematuhinya (compliance
cost), sehingga suatu perencanaan—antara lain dengan
merekrut tenaga ahli—diperlukan untuk mendapatkan biaya murah.
2. Pajak Terutang Semakin Besar Jumlahnya
Jumlah pajak terutang yang semakin besar akibat
kekeliruan dan kesalahan penghitungan, perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak
dapat dihindari.
3. Biaya Negosiasi yang Tinggi
WP kadang-kadang perlu bernegosiasi untuk
mengurangi jumlah pajak terutang akibat beberapa kekeliruan. Biaya negosiasi ini
umumnya relatif tinggi, sehingga tax litigation—penyelesaian perselisihan perpajakan sesuai
ketentuan yang berlaku, antara lain dengan mengajukan keberatan, banding, dan peninjauan
kembali—perlu dilakukan.
4. Risiko Pembinaan Otoritas Pajak
Perencanaan pajak diperlukan agar pelaksanaan kewajiban
pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga tidak mengundang pemeriksaan
dari otoritas pajak. Upaya yang dapat dilaksanakan antara lain adalah penelitian
pajak/tax research.
5. Sanksi Perpajakan dan Moral Hazard
Perencanaan pajak diperlukan untuk menghindari sanksi
pajak yang berisiko berat dari segi material dan moral, dengan cara memahami
peraturan perpajakan yang berlaku secara bulat dan utuh, dan menghindari salah
tafsir.
Alasan lain perencanaan pajak diungkapkan oleh Simon James dan Nobes yang dikutip
oleh Gunadi dalam makalahnya “Tax
Management: Legalitas dan Implikasi terhadap Upaya Peningkatan Penerimaan
Pajak”, adalah: (1) tarif pajak yang tinggi; (2) kekuranggamblangan (imprecise)
ketentuan, baik rumusan ketentuan secara eksplisit, maupun semangat, maksud,
dan tujuan secara implisit; (3) sanksi yang terlalu kecil; (4) kekurangwajaran
atau kekurangmerataan; dan (5) distorsi dalam sistem perpajakan.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, Basri Musri (2004) menguraikan 5 faktor
pendorong utama WP untuk melakukan perencanaan pajak, yaitu:
1. Rate of Tax
Tarif pajak dipilih sebagai alat perencanaan pajak, karena semakin
tinggi tarif yang dikenakan, semakin besar beban pajak yang harus dibayar. Marginal
rates of tax merupakan hal yang harus dihindari dan bukan rata-rata
tarif pajak yang ditanggung.
2. Base of Tax
WP yang menggunakan base of tax akan dibebani
pajak dari pendapatan tabungan, investasi, atau dari sumber lainnya. WP dapat
memilih pajak yang paling menguntungkan dengan membuat tabel beberapa tarif
pajak atas masing-masing penghasilan dikaitkan dengan tingkat pengembalian (yield
required) dari investasi.
3. Loopholes
Keadaan yang mungkin terjadi karena UU Perpajakan memiliki
celah. WP dapat membayar pajak lebih sedikit atau bahkan tidak membayar, misalnya
membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) lewat bank di luar negeri akan
terhindar dari pajak penghasilan (PPh).
4. Tax Shelter
WP memanfaatkan kesempatan pengurangan pajak yang difasilitasi
oleh pemerintah, seperti penyusutan dipercepat di Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET).
5. Tax Heavens
WP memanfaatkan kesempatan pengurangan pajak, karena
negara tertentu menganut paham no-tax heavens untuk income tax di
Cayman Island, hanya mengenakan pajak pada pendapatan lokal (taxing only
local income) di Liberia, special privileges atas penghasilan international
business companies di Luxemburg, dan low tax heavens with treaty benefits bagi negara yang
melakukan tax treaties.
Strategi dalam Perencanaan Pajak
1. Strategi
Umum
a. Tax Saving
Tax saving merupakan pengefisienan melalui pemilihan pajak alternatif dengan tarif
yang lebih rendah; misalnya dengan mengubah imbalan natura bagi karyawan yang tidak boleh dimasukkan
ke dalam tunjangan sebagai objek PPh pasal 21. Contoh:
perusahaan yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta dapat mengubah
pemberian natura menjadi tunjangan dalam bentuk uang. Penghematan pajak atas
perubahan ini berkisar antara 5-25% untuk penghasilan sampai dengan Rp. 200
juta.
b. Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak merupakan pengefisienan
melalui transaksi yang bukan objek pajak; misalnya perusahaan yang masih
mengalami kerugian dapat mengubah tunjangan dalam bentuk uang menjadi pemberian
natura yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sehingga dapat menghemat
pajak 5-35%. Contoh lain:
tidak membeli bahan bakar minyak (BBM) premium, diganti dengan batubara yang
diambil dari sumbernya (bebas pajak pertambahan nilai/PPN) dan tidak terkena
PPh pasal 22.
c. Penghindaran Pelanggaran terhadap Peraturan Perpajakan yang
Berlaku
Dengan menguasai peraturan
yang berlaku, perusahaan dapat menghindari sanksi, yaitu:
1) Sanksi administrasi berupa bunga,
denda, atau kenaikan.
2) Sanksi pidana, berupa pidana atau
kurungan.
d. Penundaan Pembayaran Kewajiban Pajak
Menunda kewajiban dapat
dilakukan dengan menunda pembayaran PPN; misalnya menunda penerbitan faktur pajak keluaran
sampai dengan batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit.
Contoh: penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya
setelah bulan penyerahan barang.
e. Pengoptimalan Kredit Pajak yang Diperkenankan
WP tidak mendapat informasi
pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebetulnya pembayaran tersebut
merupakan pajak yang dibayar di muka; misalnya kredit pembelian solar dan/atau
impor dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai. Dalam hal kredit
PPN (pajak masukan), PKP cukup menggunakan dokumen lain yang fungsinya sama
dengan faktur pajak standar, seperti delivery
order/Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) yang dikeluarkan oleh Bulog dalam
penyaluran tepung terigu, Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dikeluarkan
oleh Pertamina dalam penyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda pembayaran
atau kuintasi telepon.
f. Penghindaran
Lebih Bayar Akibat Salah Tulis dan Salah Hitung
Lebih bayar akibat salah tulis dan salah
hitung akan mengakibatkan risiko pemeriksaan pajak dan berdampak kepada
penyisihan waktu kantor untuk melayani pemeriksa pajak.
g. Penghindaran
Pelanggaran terhadap Peraturan Perpajakan
Pelanggaran terhadap peraturan perpajakan
dapat dihindari dengan cara menguasai peraturan yang berlaku.
2. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Efisiensi Pajak Penghasilan Badan
Strategi efisiensi PPh Badan akan
lebih optimal bila WP memahami perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan
kena pajak merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 17/2000 dan peraturan pelaksanaannya. Perusahaan
dapat memilih perlakuan yang tepat dan memperoleh efisiensi pajak yang besar
akibat perbedaan dalam penghitungan laba akuntansi dan laba kena pajak. Berikut
ini adalah beberapa cara perencanaan pajak untuk PPh Badan.
a. Menunda Penghasilan
Sebagai suatu contoh: pembukuan
perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember itu permintaan
melonjak. Pajak atas laba akibat lonjakan tersebut sudah harus dibayar paling
lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya, sehingga angsuran PPh pasal 25 tahun
berikutnya akan menjadi lebih besar. Bila memungkinkan, pengusaha dapat
melakukan pendekatan kepada konsumen dan menjual barangnya pada awal bulan
Januari tahun berikutnya; dengan demikian, pembayaran pajaknya dapat ditunda 1
tahun.
b. Mempercepat Pembebanan Biaya
Sebuah tinjauan sebaiknya dilakukan
pada akhir tahun fiskal untuk melihat biaya-biaya yang dapat segera dibebankan
pada tahun tersebut; misalnya biaya konsultan pajak, hukum, dan auditor. Langkah
ini dapat menunda pembayaran pajak setahun. Konsekuensi pembebanan biaya ini dapat
mengakibatkan kewajiban pemotongan pajak seperti PPh pasal 23 atau PPh pasal 4(2)
harus dilakukan. Alternatif mempercepat ini akan lebih efektif ketika
perusahaan untung, karena PPh Badan dapat diturunkan sampai dengan 30% dari
biaya total yang dibebankan, sedangkan dari sudut PPh pasal 23 atau pasal 4(2),
perusahaan harus memotong pajak sebesar masing-masing 6% atau 7,5% dan 10%.
c. Mengoptimalkan Pengkreditan Pajak yang Telah Dibayar
Selain angsuran PPh pasal 25, PPh yang
dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah PPh yang
dipotong/dipungut pihak lain dan sifat pemotongan/pemungutannya tidak final.
PPh yang dapat dikreditkan antara lain:
1) PPh pasal 22 atas impor atau pembelian solar
dari Pertamina.
2) PPh pasal 23 dari bunga nonbank,
royalti.
3) PPh pasal 24 yang dipotong di
luar negeri dan pembayaran fiskal luar negeri karyawan (setoran a. n. karyawan
qq. perusahaan berikut Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP perusahaan).
4) STP PPh pasal 25 (hanya pokok
pajak), baik telah, maupun belum dibayar.
5) PPh atas pengalihan
tanah/bangunan.
Perusahaan harus yakin, bahwa pajak
yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh
pemotong/pemungut pajak ke kas negara ketika menyusun rekonsiliasi fiskal.
Keyakinan ini sangat diperlukan, karena pada saat pemeriksaan petugas akan meminta
konfirmasi dari bank tempat penyetoran atau dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
tempat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Salah satu cara untuk meningkatkan
keyakinan adalah melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik
pemungutan PPh pasal 22 dan/atau pemotongan PPh pasal 23 dan uang muka yang
telah dicatat di neraca. Jika selisih timbul, maka dapat segera ditindaklanjuti
dengan meminta pihak pemotong/pemungut pajak untuk menyerahkan bukti pemotongan/pemungutannya.
d. Mengajukan
Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal
25 disebabkan oleh:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan.
2) Kenaikan laba pada tahun yang lalu.
3) Kenaikan pada Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan (RKAP) tahun berjalan (untuk Badan Usaha Milik Negara/Daerah—BUMN/D).
Sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal (Dirjen) Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, bila suatu tahun pajak sudah berjalan
3 bulan atau lebih dan perusahaan dapat menunjukkan, bahwa PPh yang akan
terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang
menjadi dasar penghitungan besarnya PPh pasal 25, perusahaan dapat mengajukan
permohonan pengurangan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat perusahaan
terdaftar. Permohonan pengurangan besarnya PPh pasal 25 harus disertai dengan
penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan
yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan
yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. Bila Kepala KPP tidak
memberikan keputusan dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal surat
permohonan perusahaan diterima, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan
perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh pasal 25 sesuai dengan
penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan. Bila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami peningkatan
usaha dan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut diperkirakan lebih
dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh pasal
25, besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang
terutang tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP terdaftar.
e. Mengelola Transaksi yang Biayanya Tidak Boleh Dikurangkan Secara
Fiskal
Staf akuntansi perusahaan seringkali
menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-biaya tertentu, sehingga pada
waktu pemeriksaan pajak biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan. Contoh:
1) Biaya promosi, biaya keamanan, dan biaya
pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan pasal 9(1) huruf g UU
PPh, sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya.
2) Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai
biaya perjananan direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi.
3) Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya
rekreasi pegawai.
4) Pemberian uang tips kepada oknum di institusi
tertentu atau dalam pengurusan dokumen dicatat sebagai biaya lain-lain atau
biaya entertainment yang tidak bisa
didukung dengan daftar entertainment.
f. Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam Negeri
Penyertaan modal saham pada perseroan
terbatas (PT) dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Bila
modal saham atas nama perorangan, maka dividen yang diperolah akan dikenakan
PPh pasal 23. Bila modal sahamnya atas nama PT dan/atau BUMN/D, sebagaimana
diatur di dalam pasal 4(3) huruf f UU PPh, penerimaan dividen tersebut bukan
merupakan objek pajak sepanjang memenuhi kriteria berikut ini:
1) Dividen tersebut berasal dari
cadangan laba yang ditahan.
2) Kepemilikan saham PT dan BUMN/D
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang
disetor.
3) PT dan BUMN/D tersebut harus
memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham.
Syarat yang tercantum pada
butir 1 di atas mengandung pengertian, bila dividen tidak dibagikan dari retained earning, tetapi dari konversi agio saham, maka dividen tersebut
otomatis menjadi objek pajak. Dividen yang diterima oleh PT dan BUMN/D yang
hanya bersifat sebagai investment holding
dan memperoleh penghasilan hanya dari dividen anak perusahaan, akan menjadi
objek pajak. Investment holding
tersebut harus memiliki usaha aktif secara minimal agar dividen tersebut
diperlakukan sebagai nonobjek pajak.
g. Merger antara Perusahaan yang Terus-menerus
Rugi dengan Perusahaan yang Laba
Dalam satu kelompok usaha kadangkala
terdapat perusahaan yang terus merugi selama beberapa tahun, sedangkan
perusahaan lainnya menghasilkan laba. Secara kelompok, perusahaan harus
membayar PPh Badan atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya. Menurut
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila kedua
perusahaan tersebut digabungkan, maka akumulasi kerugian perusahaan yang merugi
tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya telah
dilakukan revaluasi aktiva tetap. Bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, maka
secara konsolidasi perusahaan melakukan pembayaran atas laba sebenarnya.
h. Transaksi Afiliasi
1) Beberapa transaksi afiliasi yang
sangat berisiko ditinjau dari aspek perpajakan:
a) Transaksi usaha. Dirjen Pajak
berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan biaya untuk menghitung
besarnya penghasilan kena pajak bagi WP yang memiliki hubungan istimewa dengan WP
lainnnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa.
b) Pinjaman. Dirjen Pajak berwenang
menentukan tingkat bunga yang wajar atas transaksi utang piutang antarpihak
yang memiliki hubungan istimewa; hal ini merugikan. Sesuai dengan PPh pasal 23 perusahaan
harus memotongnya berdasarkan tingkat bunga wajar dan dapat dikenakan sanksi
oleh pihak pajak karena kurang memotong. Bagi perusahan induk, penghasilan bunga
tersebut akan dikoreksi positif, sehingga laba kena pajak akan lebih tinggi.
c) Transaksi utang piutang berupa reimbursment cost antara induk dan anak
perusahaan kemungkinan dapat terkena implikasi perpajakan berupa kewajiban
memungut PPN dan/atau memotong PPh pasal 23, hal ini dapat terjadi bila pihak
pajak mengindikasi terdapat objek pemungutan PPN dan pajak atas transaksi utang
piutang afiliasi tersebut.
2) Hal-hal yang harus dilakukan:
a) Transaksi pembelian barang atau pemanfaatan
jasa—yang biasanya dilakukan melalui induk perusahan—diupayakan dapat dilakukan
langsung oleh perusahaan yang menggunakannya, sehingga transaksi utang afiliasi
antara anak dan induk perusahaan tidak muncul.
b) Pemberian pinjaman tanpa bunga kepada
anak perusahaan harus memenuhi kriteria Surat Dirjen Pajak No.
S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992, yaitu:
(1) Pinjaman tersebut berasal dari
dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari
pihak lain.
(2) Modal yang seharusnya disetor
oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah setor
dalam keadan seluruhnya.
(3) Pemegang saham pemberi pinjaman
tidak dalam keadaan rugi.
(4) Perusahaan penerima pinjaman
sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Kantor pajak akan melakukan
koreksi atas pinjaman bila salah satu dari keempat unsur di atas tidak
terpenuhi dan pinjaman tersebut menjadi bunga terutang dengan tingkat bunga
wajar, sehingga menambah beban biaya bagi perusahaan. Perjanjian pinjaman yang
sekurang-kurangnya memuat pokok pinjaman, jangka waktu, dan tingkat bunga yang
dibebankan, perlu dibuat bila terjadi transaksi pinjam-meminjam antara
perusahaan dan induk perusahaan. Seandainya tidak ada pembebanan bunga, harus
dinyatakan secara tegas dalam perjanjian.
i. Piutang Tidak Tertagih
Menurut UU PPh pasal 6 (1)
huruf h, piutang yang nyata-nyata tidak dapat tagih dapat dibebankan sebagai
biaya dengan syarat:
1) Telah dibebankan sebagai biaya
dalam penghitungan rugi-laba komersial.
2) Telah diajukan perkaranya ke
Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan.
3) Telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus.
4) WP harus menyerahkan daftar
piutang yang tidak dapat ditagih kepada DirjenPajak.
Keempat syarat tersebut
bersifat kumulatif. Syarat kedua dapat dilakukan dengan memberitahukan bukti
publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain adalah menjual piutang kepada
pihak lain (debt factoring) dengan
harga yang telah dikurangi dengan penghapusan piutang tertagih dan mengurangkan
kerugian penjualan sebagai beban.
j. Bunga Pinjaman dan Deposito
Perusahaan seringkali menginvestasikan
uang kas yang menganggur (idle cash)
untuk satu atau dua bulan dalam bentuk deposito berjangka. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 131/2000, bunga deposito akan dipotong
pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 20%. Bila perusahaan tidak
memiliki utang, maka hal ini tidak menjadi masalah; tetapi, bila perusahaan memiliki
utang dengan tingkat bunga yang lebih besar dari tingkat bunga deposito, maka perusahaan
tersebut akan mengalami kerugian, karena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas utang tersebut tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya. Beberapa cara untuk menghindari masalah tersebut
adalah:
1) Menempatkan dana yang belum
digunakan dalam bentuk rekening giro, tidak dalam bentuk deposito. Negosiasi
dilakukan dengan bank jika memungkinkan, agar bunga giro lebih besar dari
biasanya, karena saldo cukup besar.
2) Memanfaatkan dana pada instrumen
keuangan yang tidak terkena pajak final, misalnya promes, didepositokan di luar
negeri, atau dipinjamkan pada perusahaan afiliasi.
k. Biaya Entertaiment
Perusahaan seringkali melakukan
koreksi fiskal positif atas biaya entertainment
dalam laporan keuangan fiskalnya, sehingga mereka akan membayar pajak 30% lebih
besar dari biaya total entertainment
yang dikoreksi positif. Perusahaan dapat mengurangi beban pajak dengan membuat daftar
nominatif dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh Badan, dan menyimpan bukti
pendukung pengeluaran entertainment
tersebut, hal ini akan menghemat pajak sebesar sebesar 30% dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan. Daftar
nominatif berisi:
1) Nomor urut.
2) Tanggal “entertainment”
dan sejenisnya yang telah diberikan.
3) Nama tempat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
4) Alamat “entertainment”
dan sejenisnya yang telah diberikan.
5) Jenis “entertainment”
dan sejenisnya yang telah diberikan.
6) Jumlah (Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
7) Relasi usaha yang diberikan “entertainment” dan sejenisnya sesuai
dengan nomor urut tersebut di atas (nama, posisi, nama perusahaan, dan jenis
usaha).
Perusahaan kadangkala membebankan juga
pemberian uang tips, pengurusan dokumen atau izin, dan jamuan pemimpin projek
ke dalam biaya entertainment atau biaya
lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai
konsekuensinya, biaya entertainment
yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi ketika menghitung PPh
Badan pada akhir tahun. Perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke
dalam pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga untuk menghemat PPh.
Penghitungan pajak dilakukan dengan cara gross-up, sehingga penghematan pajak dapat
optimal. Akan tetapi, bila perusahaan merugi, maka PPh Badannya akan nihil,
sehingga pembebanan ke biaya entertainment
dapat dilakukan untuk menghemat pajak.
l. Pengelolaan Transaksi yang Berhubungan dengan Pemberian
Kesejahteraan Karyawan
Strategi efisiensi PPh Badan yang
berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan sangat bergantung kepada kondisi
perusahaan.
1) Perusahaan dengan penghasilan
kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan
pengenaan PPh Badannya tidak final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan
dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit
in kind), karena pengeluaran ini non-deductible.
2) Bagi perusahaan yang masih rugi,
pemberian natura dan kenikmatan (fringe
benefit ) akan menurunkan PPh pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil
m. Pendanaan
Aktiva Tetap Melalui Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance/Capital Lease)
Efisiensi beban pajak dapat dilakukan
dengan memilih sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan seluruh
pembayarannya (pokok dan bunga) dapat dibiayakan. Misalnya, pembelian kendaraan
operasi secara capital lease. Harga
tunainya Rp. 100 juta, uang muka Rp. 35 juta, bunga untuk tenor 3 tahun Rp.
19,5 juta, dan cicilan per bulan Rp. 2.347.222 sudah termasuk pokok dan bunga. Biaya
pembayaran leasing selama setahun
termasuk deductible expense adalah sebesar
Rp. 28.166.664. Bila tidak dibeli dengan capital
lease, maka biaya penyusutan yang boleh dibebankan adalah sebesar Rp.
12.500.000.
n. Ekualisasi
Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2)
Ekualisasi antara biaya yang terkait
dengan objek PPh pasal 21, 23/26, dan 4(2); dan masing-masing SPT Masa PPh
sangat diperlukan, agar selisih yang terjadi dapat segera diidentifikasi lebih
dini. Ekualisasi harus dilakukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke
kantor pajak. Pembahasan yang lebih rinci dibahas pada bagian lain.
o. Ekualisasi
Omzet Penjualan Menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan Penyerahan Menurut SPT
Masa PPN Selama Satu Tahun Pajak
Ekualisasi omzet PPh Badan dengan PPN
juga sangat diperlukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak,
agar selisih yang timbul dan penyebabnya dapat diidentifikasi lebih dini. Pembahasan
yang lebih rinci dibahas pada bagian lain.
3. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21
a. Memahami
Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21
Objek dan bukan objek pajak PPh pasal
21 perlu diketahui, termasuk objek final dan tarifnya, sehingga kesalahan dalam
pemotongan tidak terjadi.
b. Memahami
Saat Terutangnya Pajak
Objek PPh pasal 21 terdiri dari
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan
dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam
negeri. Istilah “diterima” mengandung pengertian cash basis, sedangkan “diperoleh” adalah accrual basis. Kedua istilah ini terkait dengan waktu pengakuan biaya
dan pembayaran.
c. Memahami
Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21
1) Pajak ditanggung karyawan.
2) Pajak ditanggung karyawan, tapi pemberi kerja
memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross-up).
d. Menentukan Benefit in Cash atau Benefit in Kind untuk Penghasilan
Pegawai
Strategi efisiensi PPh pasal 21 dan
PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan sangat bergantung kepada
kondisi perusahaan.
1) Perusahaan dengan penghasilan kena pajak yang telah
dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya
tidak final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura
dan kenikmatan (benefit in kind),
karena pengeluaran ini non-deductible/nonobjek pajak.
2) Pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit ) pada perusahaan yang
masih rugi akan menurunkan PPh pasal 21, sementara PPh Badan tetap nihil. Perusahaan
yang masih rugi perlu meningkatkan penghasilan karyawan dalam bentuk benefit in kind untuk menghemat PPh pasal
21. Bila mengalami laba di atas Rp. 100 juta, maka perusahaan harus
mempertimbangkan nilai penghasilan yang diterima/diperoleh setiap pegawainya. Bila
ada pegawai yang memperoleh penghasilan di atas Rp. 500 juta, maka setiap
tambahan penghasilannya lebih baik diberikan dalam bentuk natura, karena tarif
pajak tertinggi untuk WP perorangan adalah 30% (lapisan penghasilan di atas Rp.
500 juta), sedangkan tarif tertinggi PPh Badan 28%.
e. Perlakuan
Pemberian Uang Tips yang Dicatat ke dalam Biaya Entertainment
Penggunaan tarif 5% untuk PPh pasal 21
didasarkan pada asumsi, bahwa setiap orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp.
25 juta. Sesuai dengan
ketentuan pasal 5 huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-545/PJ./2000
jo. Per-15/PJ./2006, honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, yang dilakukan oleh WP dalam negeri,
di antaranya terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik,
komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi,
ekonomi dan sosial, dipotong PPh pasal 21 berdasarkan tarif pasal 17 UU PPh,
yaitu 5%.
f. Ekualisasi
Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21
Prosedur yang perlu ditempuh untuk
melakukan ekualisasi ini adalah:
1) Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 21,
khususnya yang terkait dengan pegawai tetap, dikumpulkan menjadi satu kelompok
akun.
2) Setiap transaksi yang masih terkait dengan
objek PPh pasal 21 dan akan dilaporkan dalam formulir 1721-B, harus diberi kode
khusus, misalnya #21# di awal deskripsinya.
3) Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 21
yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi
satu dan ditandingkan dengan perhitungan menurut SPT Tahunan PPh pasal 21.
a) Jika selisih yang disebabkan oleh penghasilan
pegawai tetap yang dilaporkan di dalam formulir 1721-A masih timbul, maka akun
yang menampung iuran Jamsostek harus diteliti dan iuran Jaminan Hari Tua tidak
termasuk dalam objek PPh pasal 21.
b) Jika selisih disebabkan oleh penghasilan yang
dilaporkan dalam formulir 1721-B, maka kelompok penghasilan yang pajaknya belum
dipotong harus diteliti.
4. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 22
a. Memahami Ketentuan
PPh Pasal 22 dan Aturan Pelaksanaannya
b. Khusus
untuk Perusahaan yang Sering Melalukan Impor Barang dan Harus Membayar PPh
Pasal 22 sebagai Prepaid Tax
1) Pengajuan SKB dan “uang tambahan”
Dalam praktiknya, proses pengajuan SKB
PPh pasal 22 membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan bagi oknum
petugas. SKB seringkali tidak dapat diterbitkan dengan segera bila tidak ada
“uang tambahan”; hal ini sulit dibuktikan, karena pemberian tersebut dilakukan
secara tunai tanpa bukti tertulis. Bila pembebasan PPh pasal 22 yang diajukan
tidak begitu material dibandingkan dengan proses pengajuan dan “uang tambahan”,
maka perusahaan pengimpor lebih baik tidak mengajukan permohonan SKB. Sebagai
konsekuensinya, perusahaan harus melunasi PPh pasal 22. Meskipun demikian, pada
saat penghitungan PPh Badan, perusahaan masih dapat memperhitungkan PPh pasal
22 tersebut sebagai uang muka pajak.
2) Bukti pungut PPh pasal 22 asli tapi palsu
(aspal)
Perusahaan yang melakukan impor barang
terkadang meminta bantuan pengurusan kepada pihak ketiga yang bergerak di
bidang jasa kepabeanan (PPJK). Jika memang harus dilakukan, maka perusahaan
hendaknya mewaspadai PPJK yang nakal. Contoh: PT MBR meminta PT A (PPJK) untuk
memproses impor mesin pabrik. Pada hari Jumat (sehari sebelum hari libur), PT A
menginformasikan, bahwa pengeluaran mesin tidak dapat diproses karena
pajak-pajaknya belum dilunasi. Selanjutnya, PT A meminta PT MBR untuk segera
memproses pembayaran, padahal PT MBR terkadang sulit memproses pengeluaran uang
dengan segera. Akibatnya, PT MBR meminta PT A untuk menanggung pajak-pajaknya
dan akan menggantinya pekan berikutnya. Kenyataan yang terjadi adalah PT A
tidak melakukan pembayaran pajak, tetapi tetap membuat bukti pemungutan PPh pasal
22. Dalam bukti pemungutan tersebut tertera pihak pemungutnya adalah Kantor
Pelayanan Bea Cukai (KPBC), nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang, dan
stempel KPBC. Bukti pungutan ini digunakan untuk melakukan penagihan kepada PT
MBR melalui mekanisme reimbursement.
c. Khusus
untuk BUMN/D yang Ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22
1) Perusahaan harus memastikan, bahwa pemasok
barang bersedia untuk dipungut dan harus tertulis di dalam kontrak, Surat
Perintah Kerja (SPK), atau dokumen sejenisnya.
2) Perusahaan harus melakukan gross-up terhadap pembelian langsung yang tidak memungkinkan menggunakan
kontrak, SPK, atau dokumen sejenisnya, sementara pemasok barang tidak bersedia pajaknya
dipungut sesuai pasal 22 UU PPh.
5. Strategi
Perencanaan Pajak Untuk Efisiensi PPh Pasal 23
a. Memahami Ketentuan
yang Mengatur PPh Pasal 23 dan Tarif Pemotongannya
b. Memahami Saat
Terutangnya Pajak
c. Memisahkan
Tagihan Material dan Jasa
Perusahaan harus memastikan, kontrak pengadaan
jasa—kecuali jasa konstruksi dan catering—mengatur
pemisahan antara tagihan material dan jasa, sehingga pajak hanya dikenakan atas
jasanya.
d. Mewaspadai
Penagihan dari Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (Labor/Manpower Supplier)
Contoh: PT MBR mendapat tagihan Rp. 100
juta dari PT X, yang terinci menjadi Rp. 10 juta untuk jasa dan Rp. 90 juta
untuk biaya gaji yang telah dibayarkan kepada karyawan yang dipekerjakan di PT
MBR. PT MBR harus memotong PPh pasal 23 sebesar 6% dari Rp. 100 juta, bukan Rp.
10 juta atas tagihan tersebut. Alasannya, berdasarkan pasal 1 Keputusan Dirjen
Pajak No. 170/PJ./2002 pemisahan dapat dilakukan jika terdapat unsur jasa dan
material/barang. Sementara itu, Rp. 90 juta yang merupakan biaya gaji
dibayarkan kepada karyawan PT X, bukan PT MBR, sehingga mekanisme reimbursement tidak dapat dilakukan.
e. Ekualisasi
Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 23
1) Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 23,
khususnya yang terkait dengan objek PPh pasal 23, dikumpulkan menjadi satu
kelompok akun.
2) Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh
secara maksimal, maka setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh pasal 23
harus diberi kode khusus, misalnya #23# di awal deskripsinya.
3) Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 23
yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi
satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 23. Jika
masih timbul selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a) Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat
pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva)?
b) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?
6. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 26
a. Mahami
Ketentuan PPh Pasal 26 Secara Komprehensif
b. Memahami
Saat Terutangnya Pajak
c. Memahami Isi
Tax Treaty untuk Setiap Negara
1) Perusahaan harus menuangkan klausul kewajiban
perusahaan di luar negeri yang menerima penghasilan yang memuat:
a) Surat Keterangan Domisili/SKD (Certificate of
Domicile/CoD) sesuai dengan tahun perolehan penghasilan.
b) Pemutakhiran SKD setiap tahunnya.
c) Salinan paspor tenaga ahli asing yang
berkunjung ke Indonesia.
2) Minimalkan kunjungan tenaga ahli dari luar
negeri sehubungan dengan jasa profesional agar timetest sebagaimana diatur di
dalam tax treaty tidak terlampaui
d. Memanfaatkan
Tax Heavens Countries untuk Meminimalkan
Beban Pajak (Tax Burden)
Banyak perusahaan multinasional
menggunakan tax heavens agar tidak
membayar pajak atas suatu transaksi. Transaksi tanpa pajak atau pajak yang
sedikit melalui pergeseran pembayaran di negara tax heavens biasanya sangat mudah diciptakan, misalnya PT ABC
dimiliki oleh SingTel Pte. Ltd. Singapura melalui anak perusahaannya SPV
SingTel Ltd. yang berada di British Virgin Island. Bila dipandang sudah tidak
menguntungkan lagi, maka PT ABC tersebut dapat dijual ke perusahaan lainnya. Saham
yang dijual adalah milik SingTel Pte. Ltd. di SPV SingTel Ltd., bukan saham SPV
SingTel Ltd. di PT ABC. Sebagai konsekuensinya, perusahaan tidak akan dikenakan
PPh final sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Keputusan Menkeu No.
434/KNK.04/1999, karena pemilik saham PT ABC secara langsung tetap perusahaan
di BVI.
7. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 4(2)
a. Memahami Ketentuan
PPh Pasal 4(2) Secara Komprehensif
b. Memahami Saat
Terutangnya Pajak
c. Ekualisasi
Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 4(2)
1) Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 4(2),
khususnya yang terkait dengan objek PPh pasal 4(2), dikumpulkan menjadi satu
kelompok akun.
2) Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh
secara maksimal, maka setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh pasal 4(2)
harus diberi kode khusus, misalnya #4(2)# di awal deskripsinya.
3) Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 4(2)
yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi
satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 4(2). Jika
masih timbul selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a) Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat
pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva)?
b) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?
8. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 15
a. Memahami Ketentuan
PPh Pasal 15 Secara Komprehensif
b. Memahami
Saat Terutangnya Pajak
c. Ekualisasi
Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 15
1) Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 15
dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2) Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh
secara maksimal, maka setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh pasal 15
harus diberi kode khusus, misalnya #15# di awal deskripsinya.
3) Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 15 yang
tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu
dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 15. Jika masih
timbul selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a) Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat
pengakuan prepaid expenses di neraca
(aktiva)?
b) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca
(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?
9. Strategi
Perencanaan Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai
a. Efisiensi
Pajak Keluaran
1) Perusahaan yang berorientasi pada ekspor
barang kena pajak memanfaatkan fasilitas PPN yang diberikan di kawasan berikat.
Dalam hal ini
perusahaan harus menjadi Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB), sehingga PPN
terutang atas ekspor BKP menjadi 0%, sedangkan PPN Masukan dapat dikreditkan
sepenuhnya.
2) Menerbitkan faktur pajak keluaran.
a) Memastikan penerbitan faktur pajak sudah
sesuai dengan ketentuan, baik waktu, maupun validitasnya.
b) Menerbitkan faktur pajak keluaran pada akhir
bulan berikutnya setelah bulan penyerahan jika karakteristik penjualan produk
menunjukkan piutang usaha akan dilunasi dalam jangka waktu lebih dari satu
bulan, sehingga pelunasan PPN Keluaran dapat ditunda.
c) Menerbitkan faktur pajak keluaran pada saat
menerbitkan faktur komersial jika karakteristik penjualan produk menunjukkan
piutang usaha dilunasi dalam jangka waktu tidak lebih dari satu bulan, sehingga
proses ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan penyerahan
menurut SPT Masa PPN lebih mudah dilakukan.
d) Menerbitkan faktur pajak pada saat pembayaran
termin diterima, khususnya bagi penyerahan yang didasarkan pada metode persentase
penyelesaian (percentage-of-completion
method), seperti jasa asistensi, audit, atau konstruksi.
3) Memastikan faktur pajak yang cacat (void) tetap disimpan secara baik, karena
perusahaan biasanya langsung mencetak nomor seri faktur pajak secara berurutan
pada saat dibuat, sehingga pada saat pemeriksa pajak melakukan sampling test dalam bentuk pengurutan
nomor seri faktur pajak keluaran, penemuan nomor yang tidak urut di formulir
1195-A1 dapat langsung diklarifikasi.
4) Memastikan diskon tercantum dalam faktur
pajak standar, agar dasar pengenaan PPN-nya dapat berkurang sebesar diskon
tersebut.
5) Memastikan item “Harga Jual/Penggantian/Termijn/Uang
Muka” dalam setiap faktur pajak yang diterbitkan dicoret sesuai dengan petunjuk
“Coret yang tidak perlu”.
6) Melakukan ekualisasi antara omzet penjualan
menurut PPh Badan dan penyerahan menurut rekapitulasi SPT Masa PPN selama satu
tahun pajak. Bila terdapat selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a) Penggunaan kurs yang berbeda pada saat
pencatatan ke buku besar—biasanya menggunakan kurs tengah BI—dan pada saat
pembuatan faktur pajak—biasanya menggunakan kurs menurut Keputusan Menteri
Keuangan yang terbit setiap minggunya (kurs pajak).
b) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma yang tidak diakui sebagai penjualan menurut PPh Badan, tetapi diakui
sebagai penyerahan terutang PPN.
c) Faktur pajak yang dibuat pada bulan Januari
tahun berikutnya untuk penjualan pada bulan Desember tahun sebelumnya.
d) Objek PPN tidak seluruhnya dicatat pada akun
pendapatan usaha, tetapi pada pendapatan dari luar usaha.
e) Penggunaan percentage-of-completion
method oleh perusahaan konstruksi. Dalam hal ini, secara PPh Badan,
pengakuan penghasilan sudah menjadi objek PPh; tetapi secara PPN, pengakuan
tersebut belum merupakan penyerahan yang terutang PPN, karena PPN terutang pada
saat pembayaran termin diterima.
b. Efisiensi Pajak
Masukan
1) Memastikan faktur pajak standar yang diterima
dari pemasok tidak cacat
2) Memintakan faktur pajak masukan dengan segera agar
dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN.
3) Melakukan transaksi dengan pemasok yang telah
dikukuhkan sebagai PKP agar seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan dan
tanggung jawab renteng yang diatur dalam pasal 33 UU KUP dapat dihindari (pasal
33 tersebut sudah dihapus dalam UU No. 18/2007).
4) Menuangkan di dalam klausul perjanjian, bahwa
PPN yang dipungut oleh pemasok, disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku; bila tidak, maka sanksi dapat dikenakan
terhadap pemasok yang wanprestasi. Upaya ini perlu dilakukan, karena pada saat
pemeriksaan petugas selalu menempuh prosedur konfirmasi atas setiap PPN yang
telah dipungut. Konfirmasi dilakukan pada KPP tempat pemasok tersebut
terdaftar. Bila jawaban konfirmasinya negatif, pemeriksa pajak tidak dapat
mengakui pengkreditan yang telah dilakukan oleh PKP yang tengah diperiksa.
Penutup
Perencanaan pajak secara umum merujuk kepada proses rekayasa
usaha dan transaksi WP supaya utang pajak berada dalam jumlah minimal, tetapi
masih dalam bingkai peraturan. Di sisi lain, perencanaan pajak dapat juga berkonotasi
positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap,
benar, dan tepat waktu, sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya
secara optimal. Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak,
diikuti dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control).
Pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan dilakukan pada
tahap perencanaan pajak, dengan tujuan untuk menyeleksi tindakan penghematan
pajak. Perencanaan pajak ditekankan pada usaha meminimalkan kewajiban pajak;
hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi
ketentuan (lawful), maupun yang
melanggar peraturan (unlawful)
seperti penghindaran pajak dan penyelundupan pajak. Perencanaan pajak pada umumnya
selalu dimulai dengan meneliti transaksi atau fenomena yang terkena pajak. Jika
fenomena tersebut terjadi, maka langkah berikutnya adalah mencari cara untuk
mengurangi jumlah pajak atau menunda pembayaran.
Perencanaan pajak seharusnya tidak melanggar ketentuan,
secara bisnis masuk akal, dan memiliki bukti-bukti pendukung yang memadai. Perencanaan
pajak memiliki 2 aspek penting yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Aspek
Formal dan Administratif
a. Kewajiban mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
b. Menyelenggaraan pembukuan atau
pencatatan.
c. Memotong dan/atau memungut pajak.
d. Membayar pajak.
e. Menyampaikan surat pemberitahuan.
2. Aspek
Material
Basis penghitungan pajak adalah objek pajak, sehingga objek
pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.
Bila aspek-aspek ini dilaksanakan dan perencanaan pajak
dilakukan secara tepat sesuai dengan koridor peraturan yang berlaku, maka dapat
dipastikan, bahwa perencanaan pajak memang diperlukan untuk membentuk
administrasi perpajakan yang efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar