Kamis, 07 Juni 2012

PERENCANAAN PAJAK


Perencanaan Pajak, Perlukah?
Kajian Praktis Menuju Administrasi Perpajakan yang Efisien

Abdul Rahman

Abstrak
Pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang paling potensial bagi kelangsungan pembangunan negara. Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik yang memengaruhi daya beli atau daya belanja sektor swasta. Bagi dunia usaha, pajak merupakan sumber pengeluaran tanpa memberi imbalan secara langsung. Kepentingan pemerintah dan wajib pajak berbeda dalam pelaksanaan perpajakan. Pemerintah berusaha untuk mendapatkan penerimaan pajak sebesar-besarnya dari wajib pajak, sedangkan wajib pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin. Pajak harus dikelola melalui suatu perencanaan yang baik, agar wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik dan memperoleh penghematan beban pajak. Perencanaan pajak (tax planning) adalah bagian dari fungsi manajemen pajak yang meliputi proses pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, sehingga dapat diseleksi untuk menentukan jenis tindakan dan penghematan pajak yang akan dilakukan. Perencanaan pajak merupakan upaya legal untuk menempatkan pajak pada porsi yang seharusnya, sehingga beban wajib pajak dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan kelemahan dari peraturan dan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Kata kunci: pajak, manajemen dan perencanaan pajak, efisiensi.

Pendahuluan
Pada hakikatnya pembangunan nasional di suatu negara diselenggarakan secara bahu-membahu oleh masyarakat dan pemerintah. Penerimaan dalam negeri menjadi sangat penting untuk mensukseskan pembangunan nasional. Roda pemerintahan dan pembangunan nasional tidak mungkin dapat digerakkan tanpa didukung oleh dana, terutama yang berasal dari penerimaan dalam negeri. Negara juga membutuhkan dana untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupan. Dana yang akan dikeluarkan ini salah satunya didapat dari rakyat melalui pajak.

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dalam negeri yang paling potensial. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin, maupun pembangunan. Peran utama pajak ada dua, yaitu sebagai alat penerimaan negara (fungsi budgeter) dan alat pengatur (fungsi regulatory). Fungsi budgeter adalah membiayai pengeluaran negara, sedangkan fungsi regulatory adalah mengatur pertumbuhan ekonomi.

Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindah sumber daya dari sektor swasta (perusahaan) ke sektor publik. Pemindahan tersebut akan memengaruhi daya beli (purchasing power) atau kemampuan belanja (spending power). Pemenuhan kewajiban pajak harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi gangguan serius terhadap kehidupan perusahaan. Bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih. Setiap perusahaan/orang yang menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) pasti merupakan Wajib Pajak (WP).

WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Dalam pelaksanaan kewajibannya, WP terlebih dahulu harus memahami ketentuan-ketentuan umum perpajakan, salah satunya adalah self assessment system, yaitu sistem pemungutan pajak yang meliputi beberapa proses: menghitung dan menetapkan besar pajak terutang, menyetor pajak terutang ke kas negara, melaporkan perhitungan dan penyetoran, dan mempertanggungjawabkan semua kewajiban. Sistem ini merupakan bentuk kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk menjalankan kewajiban pajak. WP harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus. Konsekuensi dari sistem ini adalah masyarakat harus mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajak, seperti waktu pembayaran dan pelaporan, tujuan pembayaran, penghitungan pajak, dan sanksi yang akan diterima oleh pelanggar Undang-undang (UU) Pajak.

Dalam hal pelaksanaan perpajakan, kepentingan WP akan berbeda dengan pemerintah. WP berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya, karena akan mengurangi kemampuan ekonomisnya; sedangkan pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan—sebagian besar berasal dari pajak. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan WP cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran, baik secara legal, maupun ilegal.

WP dapat menggunakan manajemen pajak untuk menerapkan peraturan secara benar, mengefisienkan laba, dan meminimalkan beban pajak. Manajemen pajak meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Upaya untuk meminimalkan pajak sering disebut sebagai teknik perencanaan pajak. Teknik ini merujuk pada proses rekayasa usaha dan transaksi, agar utang pajak berada dalam jumlah minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan.

Mengenal Perencanaan Pajak
Pajak adalah pungutan oleh negara yang mengakibatkan arus dana ke luar (cash outflows) dan akan mengurangi hak pemilik perusahaan. Ditinjau dari entity theory, pajak dianggap sebagai laba yang merupakan hak dari negara. Sebaliknya, konsep proprietory menganggap semua kekayaan dan kewajiban perusahaan adalah hak dan kewajiban pemilik, sehingga semua pengeluaran yang mengurangi hak pemilik perusahaan dianggap sebagai beban, tidak terkecuali pajak. Anggapan, bahwa pungutan pajak tidak berbeda dengan beban usaha yang lain akan menimbulkan hasrat untuk mengurangi pajak. Suatu manajemen pajak—antara lain melalui fungsi perencanaan pajak—diperlukan untuk mengurangi beban pajak, karena peraturan perpajakan sedemikian kompleks dan dinamis (Basri Musri, 2004).

Menurut Susan M. Lyons (1993: 303) perencanaan pajak adalah, “Arrangement of a persond business and/or private affairs in order to minimize tax liability.” Robert K. Eskew (1988: 762) menyebutkan perencanaan pajak adalah, “The practice of evaluating the tax effects of contemplated actions or transactions.” Barry Spitz (1983: 1) menyatakan, “Tax planning is the process of taking into consideration all revelant tax factors, in the light of the material non tax factors, for the purpose of determining: whether; and if sowhen; how; and with whom, to enter into and conduct transactions, operations, and relationships, with the object of keeping the tax burden falling on taxable events and persons as low as possible while attaining the desired business, personal and other objectives.” Pernyataan lain, “Tax planning is the systematic analysis of deferring tax options aimed at the minimization of tax liability in current and future tax periods.” (Crumbley D. Larry, Friedman Jack P., & Anders Susan B.: 1994).

Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang menekankan kepada pengendalian setiap transaksi yang memiliki konsekuensi pajak. Tujuan tindakan ini adalah mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui penghindaran pajak/tax avoidance, bukan penyelundupan pajak/tax evasion (Mohammad Zain, 2003). Pada tahap ini, pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan dilakukan untuk menyeleksi jenis tindakan penghematan pajak. Penekanan pada perencanaan pajak adalah meminimumkan kewajiban pajak (Erly Suandy, 2003). Moenaf H. Regar (1995: 212) menyebutkan, bahwa perencanaan pajak adalah suatu usaha yang dilakukan oleh WP untuk menghemat pajak dengan cara mengatur penghitungan penghasilan yang lebih kecil yang dimungkinkan oleh perundang-undangan pajak.

Perlunya Perencanaan Pajak
Beberapa alasan yang mendasari pemberlakuan perencanaan pajak adalah:
1. Kerumitan Peraturan Per UU Perpajakan
Peraturan per UU Perpajakan yang semakin rumit meningkatkan biaya untuk mematuhinya (compliance cost), sehingga suatu perencanaanantara lain dengan merekrut tenaga ahlidiperlukan untuk mendapatkan biaya murah.
2.  Pajak Terutang Semakin Besar Jumlahnya
Jumlah pajak terutang yang semakin besar akibat kekeliruan dan kesalahan penghitungan, perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak dapat dihindari.
3.  Biaya Negosiasi yang Tinggi
WP kadang-kadang perlu bernegosiasi untuk mengurangi jumlah pajak terutang akibat beberapa kekeliruan. Biaya negosiasi ini umumnya relatif tinggi, sehingga tax litigationpenyelesaian perselisihan perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku, antara lain dengan mengajukan keberatan, banding, dan peninjauan kembaliperlu dilakukan.
4.  Risiko Pembinaan Otoritas Pajak
Perencanaan pajak diperlukan agar pelaksanaan kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga tidak mengundang pemeriksaan dari otoritas pajak. Upaya yang dapat dilaksanakan antara lain adalah penelitian pajak/tax research.
5.  Sanksi Perpajakan dan Moral Hazard
Perencanaan pajak diperlukan untuk menghindari sanksi pajak yang berisiko berat dari segi material dan moral, dengan cara memahami peraturan perpajakan yang berlaku secara bulat dan utuh, dan menghindari salah tafsir.

Alasan lain perencanaan pajak diungkapkan oleh Simon James dan Nobes yang dikutip oleh Gunadi dalam makalahnya  “Tax Management: Legalitas dan Implikasi terhadap Upaya Peningkatan Penerimaan Pajak”, adalah: (1) tarif pajak yang tinggi; (2) kekuranggamblangan (imprecise) ketentuan, baik rumusan ketentuan secara eksplisit, maupun semangat, maksud, dan tujuan secara implisit; (3) sanksi yang terlalu kecil; (4) kekurangwajaran atau kekurangmerataan; dan (5) distorsi dalam sistem perpajakan.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, Basri Musri (2004) menguraikan 5 faktor pendorong utama WP untuk melakukan perencanaan pajak, yaitu:
1.  Rate of Tax
Tarif pajak dipilih sebagai alat perencanaan pajak, karena semakin tinggi tarif yang dikenakan, semakin besar beban pajak yang harus dibayar. Marginal rates of tax merupakan hal yang harus dihindari dan bukan rata-rata tarif pajak yang ditanggung.
2.  Base of Tax
WP yang menggunakan base of tax akan dibebani pajak dari pendapatan tabungan, investasi, atau dari sumber lainnya. WP dapat memilih pajak yang paling menguntungkan dengan membuat tabel beberapa tarif pajak atas masing-masing penghasilan dikaitkan dengan tingkat pengembalian (yield required) dari investasi.
3.  Loopholes
Keadaan yang mungkin terjadi karena UU Perpajakan memiliki celah. WP dapat membayar pajak lebih sedikit atau bahkan tidak membayar, misalnya membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) lewat bank di luar negeri akan terhindar dari pajak penghasilan (PPh).
4.  Tax Shelter
WP memanfaatkan kesempatan pengurangan pajak yang difasilitasi oleh pemerintah, seperti penyusutan dipercepat di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).
5.  Tax Heavens
WP memanfaatkan kesempatan pengurangan pajak, karena negara tertentu menganut paham no-tax heavens untuk income tax di Cayman Island, hanya mengenakan pajak pada pendapatan lokal (taxing only local income) di Liberia, special privileges atas penghasilan international business companies di Luxemburg, dan low tax heavens with treaty benefits bagi negara yang melakukan tax treaties.

Strategi dalam Perencanaan Pajak
1.   Strategi Umum
a.   Tax Saving
Tax saving merupakan pengefisienan melalui pemilihan pajak alternatif dengan tarif yang lebih rendah; misalnya dengan mengubah imbalan natura bagi karyawan yang tidak boleh dimasukkan ke dalam tunjangan sebagai objek PPh pasal 21. Contoh: perusahaan yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta dapat mengubah pemberian natura menjadi tunjangan dalam bentuk uang. Penghematan pajak atas perubahan ini berkisar antara 5-25% untuk penghasilan sampai dengan Rp. 200 juta.
b.   Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak merupakan pengefisienan melalui transaksi yang bukan objek pajak; misalnya perusahaan yang masih mengalami kerugian dapat mengubah tunjangan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sehingga dapat menghemat pajak 5-35%. Contoh lain: tidak membeli bahan bakar minyak (BBM) premium, diganti dengan batubara yang diambil dari sumbernya (bebas pajak pertambahan nilai/PPN) dan tidak terkena PPh pasal 22.
c.   Penghindaran Pelanggaran terhadap Peraturan Perpajakan yang Berlaku
Dengan menguasai peraturan yang berlaku, perusahaan dapat menghindari sanksi, yaitu:
1)   Sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan.
2)   Sanksi pidana, berupa pidana atau kurungan.
d.   Penundaan Pembayaran Kewajiban Pajak
Menunda kewajiban dapat dilakukan dengan menunda pembayaran PPN; misalnya menunda penerbitan faktur pajak keluaran sampai dengan batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Contoh: penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e.   Pengoptimalan Kredit Pajak yang Diperkenankan
WP tidak mendapat informasi pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebetulnya pembayaran tersebut merupakan pajak yang dibayar di muka; misalnya kredit pembelian solar dan/atau impor dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai. Dalam hal kredit PPN (pajak masukan), PKP cukup menggunakan dokumen lain yang fungsinya sama dengan faktur pajak standar, seperti delivery order/Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) yang dikeluarkan oleh Bulog dalam penyaluran tepung terigu, Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dikeluarkan oleh Pertamina dalam penyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda pembayaran atau kuintasi telepon.
f.    Penghindaran Lebih Bayar Akibat Salah Tulis dan Salah Hitung
Lebih bayar akibat salah tulis dan salah hitung akan mengakibatkan risiko pemeriksaan pajak dan berdampak kepada penyisihan waktu kantor untuk melayani pemeriksa pajak.
g.   Penghindaran Pelanggaran terhadap Peraturan Perpajakan
Pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dihindari dengan cara menguasai peraturan yang berlaku.

2.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi Pajak Penghasilan Badan
Strategi efisiensi PPh Badan akan lebih optimal bila WP memahami perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 17/2000 dan peraturan pelaksanaannya. Perusahaan dapat memilih perlakuan yang tepat dan memperoleh efisiensi pajak yang besar akibat perbedaan dalam penghitungan laba akuntansi dan laba kena pajak. Berikut ini adalah beberapa cara perencanaan pajak untuk PPh Badan.
a.   Menunda Penghasilan
Sebagai suatu contoh: pembukuan perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember itu permintaan melonjak. Pajak atas laba akibat lonjakan tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya, sehingga angsuran PPh pasal 25 tahun berikutnya akan menjadi lebih besar. Bila memungkinkan, pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen dan menjual barangnya pada awal bulan Januari tahun berikutnya; dengan demikian, pembayaran pajaknya dapat ditunda 1 tahun.
b.   Mempercepat Pembebanan Biaya
Sebuah tinjauan sebaiknya dilakukan pada akhir tahun fiskal untuk melihat biaya-biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun tersebut; misalnya biaya konsultan pajak, hukum, dan auditor. Langkah ini dapat menunda pembayaran pajak setahun. Konsekuensi pembebanan biaya ini dapat mengakibatkan kewajiban pemotongan pajak seperti PPh pasal 23 atau PPh pasal 4(2) harus dilakukan. Alternatif mempercepat ini akan lebih efektif ketika perusahaan untung, karena PPh Badan dapat diturunkan sampai dengan 30% dari biaya total yang dibebankan, sedangkan dari sudut PPh pasal 23 atau pasal 4(2), perusahaan harus memotong pajak sebesar masing-masing 6% atau 7,5% dan 10%.
c.   Mengoptimalkan Pengkreditan Pajak yang Telah Dibayar
Selain angsuran PPh pasal 25, PPh yang dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah PPh yang dipotong/dipungut pihak lain dan sifat pemotongan/pemungutannya tidak final. PPh yang dapat dikreditkan antara lain:
1)   PPh pasal 22 atas impor atau pembelian solar dari Pertamina.
2)   PPh pasal 23 dari bunga nonbank, royalti.
3)   PPh pasal 24 yang dipotong di luar negeri dan pembayaran fiskal luar negeri karyawan (setoran a. n. karyawan qq. perusahaan berikut Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP perusahaan).
4)   STP PPh pasal 25 (hanya pokok pajak), baik telah, maupun belum dibayar.
5)   PPh atas pengalihan tanah/bangunan.
Perusahaan harus yakin, bahwa pajak yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh pemotong/pemungut pajak ke kas negara ketika menyusun rekonsiliasi fiskal. Keyakinan ini sangat diperlukan, karena pada saat pemeriksaan petugas akan meminta konfirmasi dari bank tempat penyetoran atau dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Salah satu cara untuk meningkatkan keyakinan adalah melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik pemungutan PPh pasal 22 dan/atau pemotongan PPh pasal 23 dan uang muka yang telah dicatat di neraca. Jika selisih timbul, maka dapat segera ditindaklanjuti dengan meminta pihak pemotong/pemungut pajak untuk menyerahkan bukti pemotongan/pemungutannya.
d.   Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan oleh:
1)   Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan.
2)   Kenaikan laba pada tahun yang lalu.
3)   Kenaikan pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun berjalan (untuk Badan Usaha Milik Negara/Daerah—BUMN/D).
Sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, bila suatu tahun pajak sudah berjalan 3 bulan atau lebih dan perusahaan dapat menunjukkan, bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh pasal 25, perusahaan dapat mengajukan permohonan pengurangan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat perusahaan terdaftar. Permohonan pengurangan besarnya PPh pasal 25 harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. Bila Kepala KPP tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal surat permohonan perusahaan diterima, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. Bila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami peningkatan usaha dan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut diperkirakan lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh pasal 25, besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP terdaftar.
e.   Mengelola Transaksi yang Biayanya Tidak Boleh Dikurangkan Secara Fiskal
Staf akuntansi perusahaan seringkali menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-biaya tertentu, sehingga pada waktu pemeriksaan pajak biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan. Contoh:
1)   Biaya promosi, biaya keamanan, dan biaya pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan pasal 9(1) huruf g UU PPh, sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya.
2)   Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjananan direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi.
3)   Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi pegawai.
4)   Pemberian uang tips kepada oknum di institusi tertentu atau dalam pengurusan dokumen dicatat sebagai biaya lain-lain atau biaya entertainment yang tidak bisa didukung dengan daftar entertainment.
f.    Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam Negeri
Penyertaan modal saham pada perseroan terbatas (PT) dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Bila modal saham atas nama perorangan, maka dividen yang diperolah akan dikenakan PPh pasal 23. Bila modal sahamnya atas nama PT dan/atau BUMN/D, sebagaimana diatur di dalam pasal 4(3) huruf f UU PPh, penerimaan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak sepanjang memenuhi kriteria berikut ini:
1)   Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan.
2)   Kepemilikan saham PT dan BUMN/D pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
3)   PT dan BUMN/D tersebut harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham.
Syarat yang tercantum pada butir 1 di atas mengandung pengertian, bila dividen tidak dibagikan dari retained earning, tetapi dari konversi agio saham, maka dividen tersebut otomatis menjadi objek pajak. Dividen yang diterima oleh PT dan BUMN/D yang hanya bersifat sebagai investment holding dan memperoleh penghasilan hanya dari dividen anak perusahaan, akan menjadi objek pajak. Investment holding tersebut harus memiliki usaha aktif secara minimal agar dividen tersebut diperlakukan sebagai nonobjek pajak.
g.   Merger antara Perusahaan yang Terus-menerus Rugi dengan Perusahaan yang Laba
Dalam satu kelompok usaha kadangkala terdapat perusahaan yang terus merugi selama beberapa tahun, sedangkan perusahaan lainnya menghasilkan laba. Secara kelompok, perusahaan harus membayar PPh Badan atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya. Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, maka akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya telah dilakukan revaluasi aktiva tetap. Bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, maka secara konsolidasi perusahaan melakukan pembayaran atas laba sebenarnya.
h.   Transaksi Afiliasi
1)   Beberapa transaksi afiliasi yang sangat berisiko ditinjau dari aspek perpajakan:
a)   Transaksi usaha. Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan biaya untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi WP yang memiliki hubungan istimewa dengan WP lainnnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
b)   Pinjaman. Dirjen Pajak berwenang menentukan tingkat bunga yang wajar atas transaksi utang piutang antarpihak yang memiliki hubungan istimewa; hal ini merugikan. Sesuai dengan PPh pasal 23 perusahaan harus memotongnya berdasarkan tingkat bunga wajar dan dapat dikenakan sanksi oleh pihak pajak karena kurang memotong. Bagi perusahan induk, penghasilan bunga tersebut akan dikoreksi positif, sehingga laba kena pajak akan lebih tinggi.
c)   Transaksi utang piutang berupa reimbursment cost antara induk dan anak perusahaan kemungkinan dapat terkena implikasi perpajakan berupa kewajiban memungut PPN dan/atau memotong PPh pasal 23, hal ini dapat terjadi bila pihak pajak mengindikasi terdapat objek pemungutan PPN dan pajak atas transaksi utang piutang afiliasi tersebut.
2)   Hal-hal yang harus dilakukan:
a)   Transaksi pembelian barang atau pemanfaatan jasa—yang biasanya dilakukan melalui induk perusahan—diupayakan dapat dilakukan langsung oleh perusahaan yang menggunakannya, sehingga transaksi utang afiliasi antara anak dan induk perusahaan tidak muncul.
b)   Pemberian pinjaman tanpa bunga kepada anak perusahaan harus memenuhi kriteria Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992, yaitu:
(1) Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.
(2) Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah setor dalam keadan seluruhnya.
(3)  Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan rugi.
(4)  Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Kantor pajak akan melakukan koreksi atas pinjaman bila salah satu dari keempat unsur di atas tidak terpenuhi dan pinjaman tersebut menjadi bunga terutang dengan tingkat bunga wajar, sehingga menambah beban biaya bagi perusahaan. Perjanjian pinjaman yang sekurang-kurangnya memuat pokok pinjaman, jangka waktu, dan tingkat bunga yang dibebankan, perlu dibuat bila terjadi transaksi pinjam-meminjam antara perusahaan dan induk perusahaan. Seandainya tidak ada pembebanan bunga, harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian.
i.    Piutang Tidak Tertagih
Menurut UU PPh pasal 6 (1) huruf h, piutang yang nyata-nyata tidak dapat tagih dapat dibebankan sebagai biaya dengan syarat:
1)   Telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan rugi-laba komersial.
2)   Telah diajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan.
3)   Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
4)   WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DirjenPajak.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif. Syarat kedua dapat dilakukan dengan memberitahukan bukti publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain adalah menjual piutang kepada pihak lain (debt factoring) dengan harga yang telah dikurangi dengan penghapusan piutang tertagih dan mengurangkan kerugian penjualan sebagai beban.
j.    Bunga Pinjaman dan Deposito
Perusahaan seringkali menginvestasikan uang kas yang menganggur (idle cash) untuk satu atau dua bulan dalam bentuk deposito berjangka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 131/2000, bunga deposito akan dipotong pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 20%. Bila perusahaan tidak memiliki utang, maka hal ini tidak menjadi masalah; tetapi, bila perusahaan memiliki utang dengan tingkat bunga yang lebih besar dari tingkat bunga deposito, maka perusahaan tersebut akan mengalami kerugian, karena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas utang tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Beberapa cara untuk menghindari masalah tersebut adalah:
1)   Menempatkan dana yang belum digunakan dalam bentuk rekening giro, tidak dalam bentuk deposito. Negosiasi dilakukan dengan bank jika memungkinkan, agar bunga giro lebih besar dari biasanya, karena saldo cukup besar.
2)   Memanfaatkan dana pada instrumen keuangan yang tidak terkena pajak final, misalnya promes, didepositokan di luar negeri, atau dipinjamkan pada perusahaan afiliasi.
k.   Biaya Entertaiment
Perusahaan seringkali melakukan koreksi fiskal positif atas biaya entertainment dalam laporan keuangan fiskalnya, sehingga mereka akan membayar pajak 30% lebih besar dari biaya total entertainment yang dikoreksi positif. Perusahaan dapat mengurangi beban pajak dengan membuat daftar nominatif dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh Badan, dan menyimpan bukti pendukung pengeluaran entertainment tersebut, hal ini akan menghemat pajak sebesar sebesar 30% dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan. Daftar nominatif berisi:
1)   Nomor urut.
2)   Tanggal “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
3)   Nama tempat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
4)   Alamat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
5)   Jenis “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
6)   Jumlah (Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
7)   Relasi usaha yang diberikan “entertainment” dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas (nama, posisi, nama perusahaan, dan jenis usaha).
Perusahaan kadangkala membebankan juga pemberian uang tips, pengurusan dokumen atau izin, dan jamuan pemimpin projek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai konsekuensinya, biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi ketika menghitung PPh Badan pada akhir tahun. Perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga untuk menghemat PPh. Penghitungan pajak dilakukan dengan cara gross-up, sehingga penghematan pajak dapat optimal. Akan tetapi, bila perusahaan merugi, maka PPh Badannya akan nihil, sehingga pembebanan ke biaya entertainment dapat dilakukan untuk menghemat pajak.
l.    Pengelolaan Transaksi yang Berhubungan dengan Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan sangat bergantung kepada kondisi perusahaan.
1)   Perusahaan dengan penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind), karena pengeluaran ini non-deductible.
2)   Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit ) akan menurunkan PPh pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil
m.  Pendanaan Aktiva Tetap Melalui Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance/Capital Lease)
Efisiensi beban pajak dapat dilakukan dengan memilih sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan seluruh pembayarannya (pokok dan bunga) dapat dibiayakan. Misalnya, pembelian kendaraan operasi secara capital lease. Harga tunainya Rp. 100 juta, uang muka Rp. 35 juta, bunga untuk tenor 3 tahun Rp. 19,5 juta, dan cicilan per bulan Rp. 2.347.222 sudah termasuk pokok dan bunga. Biaya pembayaran leasing selama setahun termasuk deductible expense adalah sebesar Rp. 28.166.664. Bila tidak dibeli dengan capital lease, maka biaya penyusutan yang boleh dibebankan adalah sebesar Rp. 12.500.000.
n.   Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2)
Ekualisasi antara biaya yang terkait dengan objek PPh pasal 21, 23/26, dan 4(2); dan masing-masing SPT Masa PPh sangat diperlukan, agar selisih yang terjadi dapat segera diidentifikasi lebih dini. Ekualisasi harus dilakukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak. Pembahasan yang lebih rinci dibahas pada bagian lain.
o.   Ekualisasi Omzet Penjualan Menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan Penyerahan Menurut SPT Masa PPN Selama Satu Tahun Pajak
Ekualisasi omzet PPh Badan dengan PPN juga sangat diperlukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak, agar selisih yang timbul dan penyebabnya dapat diidentifikasi lebih dini. Pembahasan yang lebih rinci dibahas pada bagian lain.

3.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21
a.   Memahami Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21
Objek dan bukan objek pajak PPh pasal 21 perlu diketahui, termasuk objek final dan tarifnya, sehingga kesalahan dalam pemotongan tidak terjadi.
b.   Memahami Saat Terutangnya Pajak
Objek PPh pasal 21 terdiri dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri. Istilah “diterima” mengandung pengertian cash basis, sedangkan “diperoleh” adalah accrual basis. Kedua istilah ini terkait dengan waktu pengakuan biaya dan pembayaran.
c.   Memahami Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21
1)   Pajak ditanggung karyawan.
2)   Pajak ditanggung karyawan, tapi pemberi kerja memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross-up).
d.   Menentukan Benefit in Cash atau Benefit in Kind untuk Penghasilan Pegawai
Strategi efisiensi PPh pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan sangat bergantung kepada kondisi perusahaan.
1)   Perusahaan dengan penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind), karena pengeluaran ini non-deductible/nonobjek pajak.
2)   Pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit ) pada perusahaan yang masih rugi akan menurunkan PPh pasal 21, sementara PPh Badan tetap nihil. Perusahaan yang masih rugi perlu meningkatkan penghasilan karyawan dalam bentuk benefit in kind untuk menghemat PPh pasal 21. Bila mengalami laba di atas Rp. 100 juta, maka perusahaan harus mempertimbangkan nilai penghasilan yang diterima/diperoleh setiap pegawainya. Bila ada pegawai yang memperoleh penghasilan di atas Rp. 500 juta, maka setiap tambahan penghasilannya lebih baik diberikan dalam bentuk natura, karena tarif pajak tertinggi untuk WP perorangan adalah 30% (lapisan penghasilan di atas Rp. 500 juta), sedangkan tarif tertinggi PPh Badan 28%.
e.   Perlakuan Pemberian Uang Tips yang Dicatat ke dalam Biaya Entertainment
Penggunaan tarif 5% untuk PPh pasal 21 didasarkan pada asumsi, bahwa setiap orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp. 25 juta. Sesuai dengan ketentuan pasal 5 huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-545/PJ./2000 jo. Per-15/PJ./2006, honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, yang dilakukan oleh WP dalam negeri, di antaranya terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, dipotong PPh pasal 21 berdasarkan tarif pasal 17 UU PPh, yaitu 5%.
f.    Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21
Prosedur yang perlu ditempuh untuk melakukan ekualisasi ini adalah:
1)   Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 21, khususnya yang terkait dengan pegawai tetap, dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2)   Setiap transaksi yang masih terkait dengan objek PPh pasal 21 dan akan dilaporkan dalam formulir 1721-B, harus diberi kode khusus, misalnya #21# di awal deskripsinya.
3)   Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 21 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan perhitungan menurut SPT Tahunan PPh pasal 21.
a)   Jika selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai tetap yang dilaporkan di dalam formulir 1721-A masih timbul, maka akun yang menampung iuran Jamsostek harus diteliti dan iuran Jaminan Hari Tua tidak termasuk dalam objek PPh pasal 21.
b)   Jika selisih disebabkan oleh penghasilan yang dilaporkan dalam formulir 1721-B, maka kelompok penghasilan yang pajaknya belum dipotong harus diteliti.

4.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 22
a.   Memahami Ketentuan PPh Pasal 22 dan Aturan Pelaksanaannya
b.   Khusus untuk Perusahaan yang Sering Melalukan Impor Barang dan Harus Membayar PPh Pasal 22 sebagai Prepaid Tax
1)   Pengajuan SKB dan “uang tambahan”
Dalam praktiknya, proses pengajuan SKB PPh pasal 22 membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan bagi oknum petugas. SKB seringkali tidak dapat diterbitkan dengan segera bila tidak ada “uang tambahan”; hal ini sulit dibuktikan, karena pemberian tersebut dilakukan secara tunai tanpa bukti tertulis. Bila pembebasan PPh pasal 22 yang diajukan tidak begitu material dibandingkan dengan proses pengajuan dan “uang tambahan”, maka perusahaan pengimpor lebih baik tidak mengajukan permohonan SKB. Sebagai konsekuensinya, perusahaan harus melunasi PPh pasal 22. Meskipun demikian, pada saat penghitungan PPh Badan, perusahaan masih dapat memperhitungkan PPh pasal 22 tersebut sebagai uang muka pajak.
2)   Bukti pungut PPh pasal 22 asli tapi palsu (aspal)
Perusahaan yang melakukan impor barang terkadang meminta bantuan pengurusan kepada pihak ketiga yang bergerak di bidang jasa kepabeanan (PPJK). Jika memang harus dilakukan, maka perusahaan hendaknya mewaspadai PPJK yang nakal. Contoh: PT MBR meminta PT A (PPJK) untuk memproses impor mesin pabrik. Pada hari Jumat (sehari sebelum hari libur), PT A menginformasikan, bahwa pengeluaran mesin tidak dapat diproses karena pajak-pajaknya belum dilunasi. Selanjutnya, PT A meminta PT MBR untuk segera memproses pembayaran, padahal PT MBR terkadang sulit memproses pengeluaran uang dengan segera. Akibatnya, PT MBR meminta PT A untuk menanggung pajak-pajaknya dan akan menggantinya pekan berikutnya. Kenyataan yang terjadi adalah PT A tidak melakukan pembayaran pajak, tetapi tetap membuat bukti pemungutan PPh pasal 22. Dalam bukti pemungutan tersebut tertera pihak pemungutnya adalah Kantor Pelayanan Bea Cukai (KPBC), nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang, dan stempel KPBC. Bukti pungutan ini digunakan untuk melakukan penagihan kepada PT MBR melalui mekanisme reimbursement.
c.   Khusus untuk BUMN/D yang Ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22
1)   Perusahaan harus memastikan, bahwa pemasok barang bersedia untuk dipungut dan harus tertulis di dalam kontrak, Surat Perintah Kerja (SPK), atau dokumen sejenisnya.
2)   Perusahaan harus melakukan gross-up terhadap pembelian langsung yang tidak memungkinkan menggunakan kontrak, SPK, atau dokumen sejenisnya, sementara pemasok barang tidak bersedia pajaknya dipungut sesuai pasal 22 UU PPh.

5.   Strategi Perencanaan Pajak Untuk Efisiensi PPh Pasal 23
a.   Memahami Ketentuan yang Mengatur PPh Pasal 23 dan Tarif Pemotongannya
b.   Memahami Saat Terutangnya Pajak
c.   Memisahkan Tagihan Material dan Jasa
Perusahaan harus memastikan, kontrak pengadaan jasa—kecuali jasa konstruksi dan catering—mengatur pemisahan antara tagihan material dan jasa, sehingga pajak hanya dikenakan atas jasanya.
d.   Mewaspadai Penagihan dari Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (Labor/Manpower Supplier)
Contoh: PT MBR mendapat tagihan Rp. 100 juta dari PT X, yang terinci menjadi Rp. 10 juta untuk jasa dan Rp. 90 juta untuk biaya gaji yang telah dibayarkan kepada karyawan yang dipekerjakan di PT MBR. PT MBR harus memotong PPh pasal 23 sebesar 6% dari Rp. 100 juta, bukan Rp. 10 juta atas tagihan tersebut. Alasannya, berdasarkan pasal 1 Keputusan Dirjen Pajak No. 170/PJ./2002 pemisahan dapat dilakukan jika terdapat unsur jasa dan material/barang. Sementara itu, Rp. 90 juta yang merupakan biaya gaji dibayarkan kepada karyawan PT X, bukan PT MBR, sehingga mekanisme reimbursement tidak dapat dilakukan.
e.   Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 23
1)   Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 23, khususnya yang terkait dengan objek PPh pasal 23, dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2)   Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, maka setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh pasal 23 harus diberi kode khusus, misalnya #23# di awal deskripsinya.
3)   Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 23 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 23. Jika masih timbul selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a)   Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva)?
b)   Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?

6.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 26
a.   Mahami Ketentuan PPh Pasal 26 Secara Komprehensif
b.   Memahami Saat Terutangnya Pajak
c.   Memahami Isi Tax Treaty untuk Setiap Negara
1)   Perusahaan harus menuangkan klausul kewajiban perusahaan di luar negeri yang menerima penghasilan yang memuat:
a)   Surat Keterangan Domisili/SKD (Certificate of Domicile/CoD) sesuai dengan tahun perolehan penghasilan.
b)   Pemutakhiran SKD setiap tahunnya.
c)   Salinan paspor tenaga ahli asing yang berkunjung ke Indonesia.
2)   Minimalkan kunjungan tenaga ahli dari luar negeri sehubungan dengan jasa profesional agar timetest sebagaimana diatur di dalam tax treaty tidak terlampaui
d.   Memanfaatkan Tax Heavens Countries untuk Meminimalkan Beban Pajak (Tax Burden)
Banyak perusahaan multinasional menggunakan tax heavens agar tidak membayar pajak atas suatu transaksi. Transaksi tanpa pajak atau pajak yang sedikit melalui pergeseran pembayaran di negara tax heavens biasanya sangat mudah diciptakan, misalnya PT ABC dimiliki oleh SingTel Pte. Ltd. Singapura melalui anak perusahaannya SPV SingTel Ltd. yang berada di British Virgin Island. Bila dipandang sudah tidak menguntungkan lagi, maka PT ABC tersebut dapat dijual ke perusahaan lainnya. Saham yang dijual adalah milik SingTel Pte. Ltd. di SPV SingTel Ltd., bukan saham SPV SingTel Ltd. di PT ABC. Sebagai konsekuensinya, perusahaan tidak akan dikenakan PPh final sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Keputusan Menkeu No. 434/KNK.04/1999, karena pemilik saham PT ABC secara langsung tetap perusahaan di BVI.

7.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 4(2)
a.   Memahami Ketentuan PPh Pasal 4(2) Secara Komprehensif
b.   Memahami Saat Terutangnya Pajak
c.   Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 4(2)
1)   Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 4(2), khususnya yang terkait dengan objek PPh pasal 4(2), dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2)   Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, maka setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh pasal 4(2) harus diberi kode khusus, misalnya #4(2)# di awal deskripsinya.
3)   Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 4(2) yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 4(2). Jika masih timbul selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a)   Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva)?
b)   Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?

8.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 15
a.   Memahami Ketentuan PPh Pasal 15 Secara Komprehensif
b.   Memahami Saat Terutangnya Pajak
c.   Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 15
1)   Akun-akun yang merupakan objek PPh pasal 15 dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2)   Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, maka setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh pasal 15 harus diberi kode khusus, misalnya #15# di awal deskripsinya.
3)   Pada akhir tahun seluruh objek PPh pasal 15 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh pasal 15. Jika masih timbul selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a)   Apakah pemotongan pajak dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva)?
b)   Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak?

9.   Strategi Perencanaan Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai
a.   Efisiensi Pajak Keluaran
1)   Perusahaan yang berorientasi pada ekspor barang kena pajak memanfaatkan fasilitas PPN yang diberikan di kawasan berikat. Dalam hal ini perusahaan harus menjadi Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB), sehingga PPN terutang atas ekspor BKP menjadi 0%, sedangkan PPN Masukan dapat dikreditkan sepenuhnya.
2)   Menerbitkan faktur pajak keluaran.
a)   Memastikan penerbitan faktur pajak sudah sesuai dengan ketentuan, baik waktu, maupun validitasnya.
b)   Menerbitkan faktur pajak keluaran pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan jika karakteristik penjualan produk menunjukkan piutang usaha akan dilunasi dalam jangka waktu lebih dari satu bulan, sehingga pelunasan PPN Keluaran dapat ditunda.
c)   Menerbitkan faktur pajak keluaran pada saat menerbitkan faktur komersial jika karakteristik penjualan produk menunjukkan piutang usaha dilunasi dalam jangka waktu tidak lebih dari satu bulan, sehingga proses ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan penyerahan menurut SPT Masa PPN lebih mudah dilakukan.
d)   Menerbitkan faktur pajak pada saat pembayaran termin diterima, khususnya bagi penyerahan yang didasarkan pada metode persentase penyelesaian (percentage-of-completion method), seperti jasa asistensi, audit, atau konstruksi.
3)   Memastikan faktur pajak yang cacat (void) tetap disimpan secara baik, karena perusahaan biasanya langsung mencetak nomor seri faktur pajak secara berurutan pada saat dibuat, sehingga pada saat pemeriksa pajak melakukan sampling test dalam bentuk pengurutan nomor seri faktur pajak keluaran, penemuan nomor yang tidak urut di formulir 1195-A1 dapat langsung diklarifikasi.
4)   Memastikan diskon tercantum dalam faktur pajak standar, agar dasar pengenaan PPN-nya dapat berkurang sebesar diskon tersebut.
5)   Memastikan item “Harga Jual/Penggantian/Termijn/Uang Muka” dalam setiap faktur pajak yang diterbitkan dicoret sesuai dengan petunjuk “Coret yang tidak perlu”.
6)   Melakukan ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan penyerahan menurut rekapitulasi SPT Masa PPN selama satu tahun pajak. Bila terdapat selisih, maka perusahaan harus meneliti:
a)   Penggunaan kurs yang berbeda pada saat pencatatan ke buku besar—biasanya menggunakan kurs tengah BI—dan pada saat pembuatan faktur pajak—biasanya menggunakan kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan yang terbit setiap minggunya (kurs pajak).
b)   Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma yang tidak diakui sebagai penjualan menurut PPh Badan, tetapi diakui sebagai penyerahan terutang PPN.
c)   Faktur pajak yang dibuat pada bulan Januari tahun berikutnya untuk penjualan pada bulan Desember tahun sebelumnya.
d)   Objek PPN tidak seluruhnya dicatat pada akun pendapatan usaha, tetapi pada pendapatan dari luar usaha.
e)   Penggunaan percentage-of-completion method oleh perusahaan konstruksi. Dalam hal ini, secara PPh Badan, pengakuan penghasilan sudah menjadi objek PPh; tetapi secara PPN, pengakuan tersebut belum merupakan penyerahan yang terutang PPN, karena PPN terutang pada saat pembayaran termin diterima.
b.   Efisiensi Pajak Masukan
1)   Memastikan faktur pajak standar yang diterima dari pemasok tidak cacat
2)   Memintakan faktur pajak masukan dengan segera agar dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN.
3)   Melakukan transaksi dengan pemasok yang telah dikukuhkan sebagai PKP agar seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan dan tanggung jawab renteng yang diatur dalam pasal 33 UU KUP dapat dihindari (pasal 33 tersebut sudah dihapus dalam UU No. 18/2007).
4)   Menuangkan di dalam klausul perjanjian, bahwa PPN yang dipungut oleh pemasok, disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku; bila tidak, maka sanksi dapat dikenakan terhadap pemasok yang wanprestasi. Upaya ini perlu dilakukan, karena pada saat pemeriksaan petugas selalu menempuh prosedur konfirmasi atas setiap PPN yang telah dipungut. Konfirmasi dilakukan pada KPP tempat pemasok tersebut terdaftar. Bila jawaban konfirmasinya negatif, pemeriksa pajak tidak dapat mengakui pengkreditan yang telah dilakukan oleh PKP yang tengah diperiksa.

Penutup
Perencanaan pajak secara umum merujuk kepada proses rekayasa usaha dan transaksi WP supaya utang pajak berada dalam jumlah minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan. Di sisi lain, perencanaan pajak dapat juga berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu, sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal. Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak, diikuti dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control).

Pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan dilakukan pada tahap perencanaan pajak, dengan tujuan untuk menyeleksi tindakan penghematan pajak. Perencanaan pajak ditekankan pada usaha meminimalkan kewajiban pajak; hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan (lawful), maupun yang melanggar peraturan (unlawful) seperti penghindaran pajak dan penyelundupan pajak. Perencanaan pajak pada umumnya selalu dimulai dengan meneliti transaksi atau fenomena yang terkena pajak. Jika fenomena tersebut terjadi, maka langkah berikutnya adalah mencari cara untuk mengurangi jumlah pajak atau menunda pembayaran.

Perencanaan pajak seharusnya tidak melanggar ketentuan, secara bisnis masuk akal, dan memiliki bukti-bukti pendukung yang memadai. Perencanaan pajak memiliki 2 aspek penting yang harus dipenuhi, yaitu:
1.  Aspek Formal dan Administratif
a.  Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
b.  Menyelenggaraan pembukuan atau pencatatan.
c.  Memotong dan/atau memungut pajak.
d. Membayar pajak.
e.  Menyampaikan surat pemberitahuan.

2.  Aspek Material
Basis penghitungan pajak adalah objek pajak, sehingga objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.

Bila aspek-aspek ini dilaksanakan dan perencanaan pajak dilakukan secara tepat sesuai dengan koridor peraturan yang berlaku, maka dapat dipastikan, bahwa perencanaan pajak memang diperlukan untuk membentuk administrasi perpajakan yang efisien.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar